Super Excellent Network Bersama Meraih Kebebasan Finansial Yang Sebenarnya

Selasa, 25 Desember 2012

PELUANG USAHA: Suvenir Papertole Onie tembus Eropa

PELUANG USAHA: Suvenir Papertole Onie tembus Eropa


PELUANG USAHA: Suvenir Papertole Onie tembus Eropa

Posted: 25 Dec 2012 02:35 AM PST

POTENSI Potensi seni luar biasa yang dimiliki wanita asli Palembang, Sumatra Selatan ini lumayan besar untuk menciptakan wirausaha pemula meski hanya mengandalkan karya seni papertole. Dia mampu menciptakan karya seni gambar dua dimensi menjadi tiga dimensi yang sangat populer di Eropa.

Sejak mengenal karya seni papertole pada 1996 sampai saat ini, Yosephine Erliani atau lebih popular dipanggil Onie berhasil menelurkan ribuan perajin seni papertole melalui kursus-kursus  yang diselenggarakannya secara berkala di berbagai kota Indonesia.

Di bawah bendera usaha Onie & Craft, dia menyadari bahwa sebenarnya masyarakat Indonesia kurang memahami bahkan kurang menghargai seni papertole. Oleh karena itu target pasarnya lebih banyak dialihkan ke masyarakat asing atau ekspatriat di Indonesia.

Dia bahkan berani mengatakan penghargaan orang Indonesia secara umum terhadap seni masih rendah. Itulah sebabnya dia lebih senang membidik masyarakat internasional menjadi pangsanya. Mereka dinilai lebih memahami karya seni.

Produk-produk yang dihasilkan alumnus arsitek dari salah satu peruruan tinggi nasioal ini dipasarkan dengan kisaran harga termurah mulai dari Rp110.000 sampai Rp10 jutaan per item. Tingginya harga yang ditawarkan berdasarkan tingkat kesulitan proses pembuatan papertole.

Dia meminta agar karya seni yang dihasikannya jangan sampai dinilai terlalu mahal, karena bahan dasarnya memang cukup murah.  Tingginya harga tersebut disebabkan faktor proses yang memang memerlukan ketrampilan khusus.

Di Indonesia, ungkapnya, nilai jual setiap produk selalu dinilai berdasarkan harga bahan bakunya. Padahal gambar dua dimensi yang dikreasi menjadi tiga dimensi tidak bisa dinilai dari kriteria tersebut. Sebab, satu karya seni jelas tidak ternilai harganya.  

Itulah sebabnya dia lebih mengejar konsumen masyarakat asing yang bermukim di Indonesia. Sebab, secara umum mereka lebih senang dengan pasar eksklusif. Dan mereka juga memahami betapa sulit menghasilkan gambar dua dimensi menjadi gambar tiga dimensi.

Dari gambar sederhana dijadikan menjadi karya seni, merupakan pekerjaan sulit. Sebab, potongan atau bagiannya bisa mencapai ratusan bahkan ribuan. Lalu dirangkai dan tidak bisa sembarangan. Perlu sentuhan khusus pada prose situ.

Artinya, papertole merupakan seni membangun dan membentuk kertas yang semula hanya dua dimensi dikreasi  menjadi tiga dimensi. Berbekal keterampilan itu  pula Yosephine Erliani Onie mampu menghasilkan rezeki lumayan setiap bulan.

Dia menekuni bisnis papertole, diawali aktivitasnya yang sering mondar-mandir ke Australia. Di negara tersebut banyak dinding rumah dihiasi dengan kerajinan atau seni papertole.  Sejak itu, sekitar tahun 1995, dia tertarik belajar di Australia.

Setahun berselang, dia lalu membuka kursus papertole di garasi rumahnya dan terbuka untuk masyarakat umum. Kemudian gratis pula. Onie tidak peduli atas pengorbanannya, yang penting ilmunya bisa diturunkan kepada orang lain.

Onie mulai menjual hasil karya seninya tersebut pada era 2000-an, lalu dikembangkan dengan membuka beberapa gerai di berbagai mal seperti di ibu kota Jakarta, Bandung maupun Bali. Dia menjalankan usaha itu seperti mengadopsi prinsip multi level marketing.

Mantan anak didiknya juga didorong membuka kegiatan yang sama untuk menelurkan wirausaha baru yang dominan dari kaum perempuan.  "Mereka yang ingin belajar tak perlu membayar. Cukup membeli peralatan saja."

Yang utama pada proses pembelajaran tersebut, katanya, mereka bisa menggunakan gunting. Ini menjadi tuntutan, karena prinsip karya seni ini menggunakan beberapa gambar yang sama persis.  Lalu masing-masing bagian dipotong dan disusun hingga membentuk rangkain tiga dimensi.

Tidak heran apabila hasil karya Onie mengundang konsumen dari berbagai pihak, mulai dari korporasi yang membutuhkan souvenir sampai pada pasangan yang membutuhkan kenang-kenangan pernikahannya.

Untuk membuat papertole memang membutuhkan beberapa gambar yang sama persis. Lalu gambar dipotong bagian per bagian. Pemotongan bagian-bagian gambar yang sama itu dilanjutkan dengan mengurangi sedikit-demi sedikit gambar asalnya.

Selanjutnya potongan-potongan itu kembali direkatkan dan ditumpuk dengan lem, sehingga menimbulkan efek tiga dimensi. Namun, sebelumnya potongan gambar di-embos atau dibuat tekstur atau lekukan agar terlihat hidup. Tahap selanjutnya gambar di pernis dan dibingkai.

Sebulan Onie mampu menjual kerajinan ini 350 demean nilai omzet Rp38 juta. Dia kerap terpaksa menolak order karena seni papertole benar-benar murni kerajinan tangan dan tidak bisa dikerjakan secara buru-buru.

Karena pembuatan papertole sangat tergantung mood yang identik dengan pekerjaan seni, proses pekerjaan papertole tidak bisa dilakukan demean sistem kerja lembur. Dia berprinsip, lebih baik menolak permintaan konsumen apabila tidak sanggup mengerjakannya. Dari pada mengecewakan pelanggan," tuturnya.

Meski demikian, Onie terus memanfaatkan momentum pameran demi pameran untuk mendukung pemasaran produknya.  Karena penggemarnya lebih dominan ekspatriat, maka dia selalu fokus berpameran di Jakarta dan Bali yang banyak ekspatriatnya.

Di luar negeri, dia juga aktif memasarkan karya papertole melalui pemasaran dan promosi perdagangan internasional. Negara yang kerap menjadi targetnya adalah Singapura, Italia, dan India.

Bagaimana cerita perjalanan usahanya sehingga bisa menembus pasar ekspor?  Tidak lain karena dukungan yang diberikan pemerintah melalui Pendidikan dan Pelatihan Ekspor Indonesia (PPEI) di bawah naungan Kementerian Perdagangan.

Keterampilan manajemen produksi, penyusunan strategi bisnis serta pemahaman dan pengetahuan tentang kinerja ekspor diperoleh dari lembaga pemerintahan tersebut.  "Saya tidak malu mengakui jika PPEI sangat membantu."

Dia menyayangkan eksistensi dari lembaga itu karena belum banyak dimanfaatkan pelaku usaha kecil menengah (UKM) untuk meningkatkan kapasitas SDM maupun usaha. Menurut dia, kehadiran PPEI harus disebarluaskan kepada seluruh UKM yang produknya berorientasi ekspor.

Meski sudah banyak mengenal papertole disertai anak didiknya juga membuka gerai sendiri, Onie tetap membuka pintu bagi orang lain yang berminat belajar papertole. Menurut pemahaman dia, ketrampilan bisa dihasilkan semua usia. (Bsi) (Foto: www.papertoleusa.com)

This entry passed through the Full-Text RSS service — if this is your content and you're reading it on someone else's site, please read the FAQ at fivefilters.org/content-only/faq.php#publishers. Five Filters recommends: Gaza Blitz - Turmoil And Tragicomedy At The BBC.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar